Bukan menggurui namun murid yang berbagi catatan kehidupan

Mengapa Saya Bodoh dalam Menuntut Keadilan?

Tadi malam saya membiarkan diri saya larut dalam kesendirian, kemudian saya berangan-angan dimana  Endonesah memiliki sistem yang rapih, dimana semua pihak yang mengaku kepada Tuhan bahwa merekalah perealisasi segala aspirasi rakyat yang bernaung dalam benak mereka benar-benar mampu memisahkan kata “palsu” dari kata “janji”, tidak pernah ada petinggi yang bergemetar ketika  spanduk dan toa berjalan bersuara menuntut omong kosong bernama keadilan, tidak ada orang sakit yang mengeluh saat memperjuangkan kesehatannya karena dibodohi oleh sistem pengayom bernama be-pe-je-ess, pendidikan tidak lagi tergantung pada lembaran panas berangka sehingga tidak ada lagi orang yang mengatakan “dua ditambah dua samadengan lima”, tidak ada kesia-siaan dalam manusia menyisihkan rata-rata empat tahun dalam hidupnya untuk duduk di atas kursi berlabel perguruan tinggi demi membubuhkan gelar sarjana dalam namanya.
Lebih dari setengah jam saya berangan-angan mengenai kemerdakaan yang indah tersebut. Begitu bahagianya saat bisa hidup dalam angan saya seolah-olah saya adalah presiden di negeri ini dan saya bisa melihat orang-orang tertawa bahagia tanpa ada kata “sia-sia” di belakang kata “kemerdekaan” yang membebannya. Namun, ketika berhenti melamun, saya semakin merasakan bahwa kenyataan yang mengalir dalam nafas saya bertolak belakang dengan harapan saya. Saya hanya bisa menghela nafas dan merasa telah dibodohi oleh imajinasi saya sendiri. Kemudian saya berfikir, jika saya duduk di kursi nomot satu di negara ini, saya belum tentu bisa merealisasikan semua yang ada dalam angan saya itu, karena, bahkan untuk teratur dalam membuang sampah pada tempatnya saja masih belum bisa, apalagi membuang dosa dari darah para petinggi yang di bawah kekuasaan saya jika benar menjadi seorang presiden.
Lepas dari lamunan saya, saya pun sadar bahwa segala kebencian dan juga cacian yang selama ini saya utarakan mengenai sistem yang ada di sekitar saya, entah di kampus atau bahkan di negara ini  hanya akan menemui satu jalan, yaitu, SIA-SIA. Kemudian saya berfikir, mengapa saya tidak memanfaatkan setiap setengah jam dalam lamunan saya untuk tidur sehingga muka saya tidak terlihat seperti seorang pengguna narkoba saat hadir dalam kelas kuliah  pagi karena kurang tidur? Untuk apa saya menyelimutkan dosa dalam asumsi dan persepsi saya jika keadilan tetap saja dipeluk oleh omong kosong? Bahkan jika ditanya, apakah saya mampu jika diminta untuk mengemban amanah sebagai penguasa yang bertugas meciptakan sistem yang stabil sehingga tidak ada lagi keadilan yang sengaja disembunyikan, jawabannya adalah TIDAK. Saya sadar bahwa saya terlalu banyak mengeluhkan berbagai masalah di negeri ini yang tak kunjung membaik, sehingga sayaa lupa, bahwa, sebenarnya saya bisa saja menjadi solusinya, bukan sekedar penuntut. Rasa ketidakpuasan terhadap kenyataan yang ada lah yang menghambat kreatifitas saya berkembang. Sedangkan seharusnya saya memanfaatkan ilmu yang saya dapat dan menggunakan forum diskusi dalam sebuah organisasi sebagai media dalam membuat inovasi sebagai solusi yang lebih menjanjikan atas permasalahan yang ada. Tentunya dengan cara yang lebih berpendidikan dan beradab tanpa menggunakan emosi sebagai landasan. Bukan asal mencibir mengkritik segala masalah, membiarkan emosi kita meluap saat melihat media-media yang dengan menggebu-gebu mengekspos masalah-masalah tanpa memikirkan jalan keluarnya. Betapa bodohnya saya yang dipecundangi oleh amarah yang tidak realistis, berharap semua masalah membaik setelah kita menggerutu mengeluhkannya.
Jika anda adalah orang yang haus akan kebenaran sama seperti saya, marilah bersama-sama intropeksi diri untuk merubah hal-hal sederhana yang masih salah dalam diri kita, lalu memanfaatkan ilmu yang ada untuk merubah  segalanya. Mari menjadi orang yang cerdas dalam menyelesaikan masalah dengan mencari letak pokok permasalahannya, mencari penyebabnya kemudian mncari titik kelemahannya untuk membalikkan keadaan dengan cara yang cerdas pula. Karena yang ingin kita kalahkan adalah pemain sistem , bukan pemain PlayStation ( PS ). Tidak masalah jika kita harus mengorbankan waktu, tenaga dan fikiran kita asalkan di kemudian hari kita dapat melihat masalah-masalah yang diekspos oleh media masa semakin hari semakin berkurang. Sehingga kelak anak cucu kita tidak perlu merasakan penindasan dan pembodohan seperti yang kita rasakan sekarang, mulai dari pembodohan moral terhadap diri kita sendiri, lingkungan terdekat kita seperti keluarga, kemudian masyarakat di sekeliling kita, kampus kita, lalu jika sudah pada saatnya dan potensi yang kita miliki sudah memadahi, barulah kita mengkontribusikan apa yang kita miliki untuk merubah negara ini menjadi lebih baik.




0 comments:

Posting Komentar

Mengapa Saya Bodoh dalam Menuntut Keadilan?